CERPEN!

Gazebo dan Beringin Tua
            Malam begitu kosong, bulan tak sepenuhnya tersenyum, kabut seakan mendekap erat seolah tak membiarkanmu pergi dari maut yang sudah menanti. Embun mulai terbentuk, berbaris rapi berupa bulir putus asa yang menanti gilirannya untuk mati diujung papan pembantaian, hingga akhirnya hancur menjadi kepingan kristal tak berbentuk.
Krik.. Krik.. Krik..
Tokek... Tokek... Tokek...
Frog... Frog... Frog... Frog...
            Mereka seakan bersenandung memacu pedal kemenangan menuju orkestra megah. Hawa dingin sedikit menggelitik persendianya.
“kenapa malam ini begitu dingin, aish! Terkutuklah malam ini” sambar seorang pria berbaju hitam, tertera “shit!”.  Terkesan kasar, namun perawakannya sangat pas akan hal itu.
“hei! Tak sepantasnya kau berkata seperti itu, jika Tuhan menghendakimu menyapaNya malam ini, ap-“ sahut yang lainya. Dia tak sendiri malam ini.
“ssstttt, jangan menceramahiku! Malam ini kita berpesta pastikan sisi timur aman”
“ya, tentu saja” jawabnya datar.
“ada apa dengan ekspresimu? Kau bisa pergi jika kau tak nyaman.”
“apa?! Tentu tidak” jawabnya lantang, namun hatinya tidak. Matanya seloah memberi isyarat, tinggalkan semua ini.
“baiklah, itu keputusanmu. Bagaimana dengan perlengkapan kita?”
“siap” jawabnya datar.
“hei ayolah! Bukankah kita datang kemari untuk bersenang-senangnada apa dengan raut wajahmu itu?”
“ntahlah ko, suasana malam ini begitu.... mencekam”
“tenang saja Dewi Fortuna dipihak kita”
“kau terlalu meremehkan”
“sudahlah, tak ada gunanya berdebat seperti ini fred” ucapnya.
“ini salah” batinya.
            Berjalan ditengah kesepian malam tak membuatnya gentar untuk melanjutkan misi rahasianya malam ini.
“dimana Dodi” sahut Eko.
“sepertinya menyusul”
“aish, anak itu!”
“aku harap kau tak datang malam ini firasatku tak baik” batinya.
            Daun beringin mulai menari, bersenda gurau menggelitik telinga dengan nyanyian alam, disambut jingkatan kasar dari tapal yang bertumpu pada dua kaki yang mengalun indah diatas aspal hitam dengan cekungan berisi genangan membentuk siluet hitam putih pada genangn itu.
“sebaiknya kita kembali, perasaanku mengatakan ini salah” ucapnya tiba-tiba mampu membuat eko terbelalak.
“kau takut?”
“tidak”
“so?”
“hanya perasaanku”
“sudahlah ikuti saja peraturanku”
“aku masih ragu” batinnya.
            Dari kejauhan sebuah bayangan mulai tercetak diantara kumpulan kabut putih dengan secerca cahanya dibelakangnya.
“Hoi!” teriaknya dari kejauhan sembari mengangkat tangannya.
“dari mana saja kau?”
“kau tau lah, tanpa ini sia-sia” sambil mengangkat bungkusan putih tertulis ciu.
“i see, ayo!”
            Langkahnya tanpa gentar maju, berbeda dengan Fredy. Kegiatan ini sudah biasa ia laukan, namun tak dapat dipungkiri hatinya sedikit ‘menolak’.
            Sisi timur menjadi tempat yang pas untuk menikmati itu semua. Penerangan remang membuat Eko, Fredy dan Dodi sulit untuk diketahui keberadaan mereka. Tapi tetap saja, tanpa mereka sadari sepasang mata tajam tengah memperhatikan mereka.
“Mur, lihat menurutmu apa yang mereka laukan?”
“kau tau lah tempat itu”
“apa kau dan aku memiliki pemikiran yang sama?”
“well, yeah”
            Sambil meneguk beberapa miras ditangan kirinya, dan lintingan daun kering halus di tangan kananya. Kepulan asap menemani malam ini.
            Tiba-tiba saja Patma tersenyum, menyunggingkan senyum yang tak terbaca.
“tidakkah mereka terlalu berani menatap kita?”
“yang benar saja, mana mungkin mereka berani”
“lihatlah” sambil menunjuk.
“kkau benar”
            Disatu sisi, mereka mulai menikmati pesta ini. Tanpa disadari, Eko mendapati dua pasang mata tengah memperhatikan gerak-geriknya. Dalam keadaan setengah sadar, ia kembali menatap tajam bola mata itu. Kini satu jari tengah menunjuk kearahnya.
“kau lihat itu? Bukankah ia menatap kita?”
“uh kau terlalu berani” balasnya menatap.
            Dengan langkah tertatih, ia berjalan menuju pria yang baru saja berani menunjuknya. Sedangkan yang lain masih asik dengan pesta mereka. Bahkan jika dunia lenyap mereka tak akan menyadari itu, mereka terlalu menimati setiap tegukan yang lolos ke kerongkongan mereka.
            Beberapa kali ia menarik kepalanya ke atas.
“lihat itu, berani sekali dia”
“sabarlah aku yakin tak sampai seperempat jalan ia kandas”
            Dugaan Murdi salah, Eko berhasil. Dengan bangganya ia berdiri.
“kau atau kesalahanmu?”
“salah? Kesalahan?”
“aku rasa kau salah orang bung”
“tidak mungkin disini hanya ada kau aku dan dia. Dan dengan sangat jelas kau menunjuk kearahku aoa kau tahu?”
“tentu saja kau kira kami bodoh” terlihat ia mulai menggeram kesal, kepalan tangannya mengeras, urat itu mulai menapak pada lengan dan kepalanya.
“tahanlah” sanggah Murdi.
“tahan? Untuk apa lakuakanlah”
“kau tahu bung, kau jelas-jelas masih stengah sadar dan kau meminta kami melakukanya? Kau gila”
            Dua pria itu berbalik meninggalkan Eko, merasa diabaikan. Dengan kepalannya.
BUGH!!
“Hei bocah! Apa yang kau lakukan?”
            Perkelahian tak elakan.
“hoh, kau mau mati rupanya? Kau bosan hidup, hah!”
“kau saja yang mati”
“sudah cukup”
            Tiba-tiba Eko tak bergerak, ia terdiam kaku dengan kedua lutut menyentuh dinginnya tanah.
“Pat! Apa yang kau lakukan?”
“ak.. aku” dengan nada gemetar ia tak dapat berkata, selain terdiam dan menarik pisau yang tengah tertancap disis kiri Eko.
“cepat lari!”
“tapi..”
“sudahlah kau tak ingin masa mudamu berakhir dibalik jeruji, bukan?”
            Mereka berlari, sekuat tenaga. Eko masih terduduk disana.
“dasar bocah tengik, apa yang mereka lakukan?”
            Jalannya mulai menyeret, ia terlalu banyak kehilangan darah.
“Dod, Dodi”
            Dodi yang terlalu asik memainkan peranya, bersama fredy tidak mengetahui temanya tengah memanggil mereka.
“Dodi!”
            Seketika Dodi mengerjap.
“kau mendengar seseorang memanggil namaku?”
“tidak, kenapa?”
“ntahlah, aku hanya merasa seseorang memanggil namaku”
“tunggu, mana Eko”
“sebelumnya ia masih duduk disini”
            Sepanjang malam mereka mencari Eko.
“kau menemukannya?”
“tidak, aku mulai merasa ada yang aneh Dod”
“tenanglah, semua baik-baik saja”
“apa itu?”
            Saat secerca cahaya mengenai mata, sinar itu dari arah gazebo.
“sudah kuduga” batinnya.
“apa?”
“malam ini mencekam, sebaiknya kita pergi”

            Malam itu akhirnya kisahnya. Saat mereka menemukan Eko dalam sebuah cetakan rapi bertuliskan. ‘malam mencekam, awal penikaman’.

Comments

Popular posts from this blog

RAHASIA KANI SIPI: PERTEMUAN

STORY OF MY LIFE

Just Believe Part 15