Just Believe
       Pernahkah kau berpikir, kalau hidup ini seperti film drama yang sudah dirancang dalam skenario manis yang diperuntukan kepada siapa saja yang ingin menjalani hidup dengan lebih berarti. Banyangkan sebuah kamera menghampirimu, dan mengajakmu bercengkrama dengan dunianya. Mengajakmu meminkan sandiwara manis, yang sudah disusun serapih mungkin. Kau hanya perlu meletakkan jiwamu dalam gulungan tembaga. Tiba-tiba sebuah pertanyaan datang 'untuk apa kau menjalani semua itu, jika pada akhirnya kau akan menghilang?'.  Sumber suara berteriak sangat lantang, berkali-kali mengucapkan kata yang sama, untuk memastikan bahwa semua orang memperhatikannya. 
"Kisah ini, kisah cinta. Bukan sadness!"
       Pria berjanggut itu kembali berteriak. 
"Aku memberimu nyawa untuk hidup sebagai sebaik-baiknya manusia. Jadikan itu tujuan hidupmu."
       Kepulasan tidurku terganggu oleh raungan singa yang kelaparan.
"Ah benda ini selalu saja. Oke, oke, aku bangun sekarang"
       Aku mengerjap, berusaha menyingkirkan ajakan setan yang setia duduk di kelopak mataku.
"Pergi kau!" Gerutuku.
       Saat tetesan pertama menyentuh tubuh tanpa busanaku, aku berpikir, akankah menjadi kisah cinta atau sadness?. Apa semua itu tergantung siapa yang memainkan peran itu?. Atau tergantung pada skenario yang sudah sah. Mengacu pada indah atau malah buruk. Aku memutuskan untuk menentukan itu sendiri. Dengan kata lain, aku lah maincastnya. Maka aku yang akan menentukan takdirku.
       Mengelap sisa-sisa butiran kristal air yang masih menempel pada kuliku. Mengenakan dengan cepat sergamku dengan rapi. 
"Sebaiknya solat dahulu"
       Ritual penyucian, dilakukan agar dalam keadaan suci saat menghap-Nya.
"Bismillah, Ya Allah. Waktu ku hidup semakin berkurang begitu juga bumi ini tak selama bisa memberikan kasih sayang kepada yang meninggalinya. Aku cukup mengerti dengan keadaanku, aku hanya ingin diberikan kebahagiaan, untuk mereka yang menyayangiku. Beri aku kesehatan dan keselamatan. Jika Engkau berkehendak hatiku dan hatinya menyatu, maka satukanlah kami. Satukan kami dalam suatu hubungan sakral yang membuat kami halal. Amiin." 
       Kata-kata itu, sudah menjadi rutinitasku setiap mendengar adzan berkumandang. Tiada henti aku mengingatkan kepada kedua orang tuaku untuk selalu mematuhinya.
"Kami terlalu lelah nak" hanya itu, jawaban mereka. Aku hanya bisa menghela nafas, pertanda Tuhan tunjukan pada mereka jalan-Mu.
       Menggantungkan export hijau coklat pada pundakku, tersenyum semanis ku bisa pada pantulan diri. Pertanda Bismillah untuk hari ini, dan aku siap menjalaninya. Dikelilingin kekayaan, tak membuatku besar kepala. Kali ini bukan ferari hitam yang kunaiku. Hanya besi tua, yng semakin pudar kejayaannya namun masih setia menemaniku. Sejak ayah membantuku belajar menaikinya, saat itulah aku bersahabat dengannya, teman lama yang ku sebut, timi. Dia begitu imut, terlalu imut untuk ukuran anak seusiaku. Berulang kali ayah menanyakan.
"Sepeda tua itu sudah cukup lelah sayang. Tidakkah kau ingin yang muda?"
"Timi. Timi namanya, yang kucari bukan tentang bagaimana dia, tapi semangat dan kesetiaannya. Aku sudah cukup nyaman dengan Timi ayah"
       Bukan maksud untuk membantah, tapi aku memang sudah terlanjur menyayanginya. Saat aku menyayangi sesuatu, maka aku akan meletakkan hatiku padanya. Begitu juga dengannya. Rei. Aku tersenyum ketika bibir ini mengucapkan namanya. Mataku berlih pada jam yang melingkar pada pergelanga tangan kiriku. Mulutku tak bisa mengatup, mataku membelalak. Kala mendapati bahwa 10 menit lagi gerbang akan ditutup. Bak pembalap profesionl dengan ambisi akan kemenagan, kakiku mengayuh pedal reot ini. Timi, bantu aku. Aku tau kau bisa. 
       Aku tersenyum lega, meski peluh menghiasi keningku, namun aku berhasil 5 menit kurang dari bel. Mungkin gerbang dan penjaganya masih memiliki toleransi kepadaku, tapi tidak dengan Bu Rosi. Dia terkenal akan keganasannya dalam mengajar, kedisiplinannya akan peraturan membuatnya di tunjuk Pak Wibowo untuk menjadi penanggung jawab kedisiplinan di sekolah. Bodohnya aku, aku lupa bahwa jam pertamaku, adalah harus bertatap muka denganya. Dan satu lagi, dia sangat membenci wanita. Bukankah dia sendiri wanita?. Aku masih tak paham dengan itu. 
"Asalamualaikum, permisi bu boleh saya masuk?"
"Kau, kau tau peraturannya. Jadi haruskah aku mengatakannya lagi?"
"Tidak bu, baik bu"
       Bergegas aku berlari menuju mejaku, meletakkan tasku dan bersegera keposisi, anak terlambat. Permohonanku, pagi ini. Aku tak sendirian. 

Comments

Popular posts from this blog

RAHASIA KANI SIPI: PERTEMUAN

STORY OF MY LIFE

Just Believe Part 15