Just Believe
       Pandanganku seketika memudar, pendengaranku tiba-tiba lenyap. Ini kah akhir hidupku?, tapi tunggu suara, aku mendengar suara. Ku dekap kupingku, bagai menautkannya disela jari indahku.
"Are you okay?" 
       Kepalaku mencoba memutar memory yang lalu, namun itu menyiksaku.
"Aarrrggghhh!!" 
"Hei, are you okay?"
       Berpikir, apa dia malaikat?, tunggu seseorang memelukku. Hangat. Sungguh hangat. Aku tidak tahu malaikat sehangat ini, jika benar maka ini aku ingin selalu dalam dekapannya. Tapi aku harus meninggalkan cinta, kasih, dan sayang yang telah mereka berikan. Mereka, mereka yang menyayangiku. Tak peduli bagaimana aku. 
       Ditengah sinar putih yang semakin menjelma, satu titik hitam menodainya. Perlahan namun pasti  titik itu mulai mendekat, mendekat, hingga aku dapan menggapainya. Menggenggamnya begitu erat. Kehangatan itu muncul kembali.
"Are you okay?"
   Tiga kali sudah aku mendegar kalimat itu?, sebenarnya aku mati atau tidak. Seseorang menggoyangkan badanku, bahkan kakiku tarasa semu.
"Tuhan, aku mohon sadarkan dia?"
       Kuraih wajahnya, Ya Tuhan. Kulitnya begitu halus. Aku mengerjap, sebanyak yang aku bisa. Berusaha mengembalikan sesuatu yang sempat memudar.
"Devi?" 
"Oh, Tuhan syukurlah?"
       Seseorang meraih bahuku. Membantuku untuk berdiri namun...
"Aw!"
       Semua pandangan teralih pada bercah kemerahan disalah satu dengkulku. Aku meringis menauan nyeri.
"Lihat kau terluka, bukankah sudah ku bilang untuk tidak ceroboh lagi!"
       Disaat seperti ini dia masih bisa memarahiku. 
"Aku tau kau khawatir tapi aku baik-baik saja, Devi" 
       Ku usap dengan halus tangan yang memegang bahuku, seolah mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan berhenti mengkhawatirkan aku.
"Aku bisa jalan sendiri, lepaskanlhDev"
"Tapi aku todak memegangmu"
"Lalu?"
       Aku menoleh, sambil tetap memegang tangan hangat itu. Dia!. Jarak ini, jarak ini begitu dekat. Nafasku seketika tercekat. Lututku lemas.
"Kau tak apa?"
"Ah ya"
"Dia mulai lagi" samar namun masih bisa kudengar. Devi.
"Aku bisa berdiri sendiri"
"Kau yakin"
"Tentu"
       Perlahan ia melepas genggamannya dari pundakku. Aku berusaha menguatkan diri. Aku tak ingin tampak lemah di depannya. Aku tak ingin dia mengasihaniku. Aku ingin dia. Mencintaiku. 
"Apa kau yakin dapat kembali kekelas?"
"Ehem, tentu. Aku sudah memiliki pendamping disini."
       Tersirat, ekspresinkecewa disana. Aku ingin menafsirkannya. Namun ini terlalu dini.
"Baiklah, kalau begitu, sampai jumpa. Rei.
"Oh?, Tari."
       Ia berbalik, punggungnya tampak begitu kekar. 
"Jangan lupa untuk mengobatinya".
       detik berikutnya dia sudah berlalu pergi. Rei. berulang kali aku mengucapkan nama itu dalam benaku.
"Astaga lihat pipi itu, semakin merah saja"
"Devi"
"ayo lah kau tidak bisa membohongiku kali ini"
"Kau benar"
"Kalau begitu, ayo kita kembali ke kelas"
"em!"
       Rei. jadi itu namanya.
       Hari-hariku semakin berarti, sejak kejadian waktu itu. aku merasa kita semakin dekat. dentingan bel sudah berbunyi 10 menit yang lalu, anak-anak sorak sorai menyambut tanda kepulangan. Namun, aku kembali ke pekerjaanku, pengamat gerak-geriknya. Melalui celah kecil, berbentuk persegi perantara indraku dengan tubuhnya. Tanganku tak pernah menuliskan namanya, berusaha menuangkan pikiran dalam untaian kata yang bisa membuat perasaanku lega. Aku tersenyum mendapati diriku, tengah beradu dengan hitam putih. mengingat semua yang telah terjadi. Betapa Tuhan Maha Mengasihi. jika bukan karena senyumnya. aku tak tahu apakah aku bisa bersandar di pojok ruang ini. Menikmati sisa kehidupan yang semakin berkurang, menikmatinya dengan terus mengejar cinta. Aku emlihatnya masih berkutat dengan benda membosankan itu.
       Apa yang ia dapatkan dari itu, kenapa kau tak memikirkan kemungkinan yang terjadi?. Dia kembali tersenyum, seolah pantulan wajahnya kini terpatri di permukaan benda itu. Atau dia merasa bahwa hari ini benda itu sangat lucu. Sangat lucu?. Of what? maybe?. Agirl?.
       Ah, cintamu membuat frustasi. Aku mulai ragu saat dia berpaling. Satu kata yang membuatku tetap mencintainya. Percaya. Percaya, aku berusaha percaya akan keajaiban cinta yang mungkin terjadi antara aku dan dia. Aku hanya dapat mengamini semua perkataan yang kuucapkan sendiri.
       waktu menunjukkan jam 5, dia menghilang inilah waktunya aku juga beranjak dari singgasanaku. Memutar balik badanku, dan mendapati sepasang mata coklat tengah berdiri di depanku. Aku menjauh, namun kedua tangan kekarnya menggapai pinggangku. Mengetahui, sinyal kelemasan mulai terpncar dari kedua kakiku.
"Kau belum pulang?"
"ah, apa?"
       Aku mati rasa dibuatnya, bagaimana bisa dia?.
"Kau belum pulang?"
"ah, belum. Kau sendiri?"
"Tentu saja aku belum"
"hm, ya"
"ingin pulang bersama?"
"Apa tak apa?"
"Em, tentu"
"baiklah"
       Sunyi, disini terlalu sunyi. Ingin rasanya membawa stereo untuk menghilangkan kesunyian ini. Lorong panjang ini seolah pendukung suasana kali ini. Setelah persimpangan aku harus berpisah dengannya.
"terima kasih"
"em, sama-sama, Tari"
       Dia, berlalu menjauh. hingga siluetnya termakan oleh cahaya. Dia menyebut namaku. Aku semakin percaya. 


Comments

Popular posts from this blog

RAHASIA KANI SIPI: PERTEMUAN

STORY OF MY LIFE

Just Believe Part 15